MENGENANG
LAHIRNYA PGRI DI SOLO
Pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Militer
Jepang masih berkuasa di seluruh wilayah Indonesia, walaupun pemerintah
pusatnya sudah menyerah kalah pada sekutu. Terjadilah perebutan kekuasaan
antara pemerintah militer Jepang yang masih mau mempertahankan kekuasaannya
yang sudah goyah dengan Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja
memproklamirkan kemerdekaannya. Perebutan kekuasaan tersebut ada yang
berlangsung melalui pertempuran, ada yang melalui perundingan. Dalam beberapa
waktu berhasil diselesaikan penyerahan kekuasaan pemerintah militer Jepang
kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia belum sempat mengadakan konsolidasi, tiba-tiba
datang mendarat bersama-sama tentara sekutu, tentara Pemerintah Hindia Belanda
dalam jumlah yang besar dengan senjata lengkap serba modern. Pemerintah Hindia
Belanda bermaksud mengambil alih pemerintahan dan menguasai kembali Indonesia
seperti pada waktu sebelumnya. Terjadilah perang kemerdekaan Indonesia melawan
Pemerintah Hindia Belanda yang dibantu tentara Sekutu. Walaupun persenjataan
tentara Hindia Belanda serba lengkap dan modern baik di darat, laut, maupun
udara, tetapi ternyata mereka tidak dapat maju dengan cepat, bahkan terpaksa
berhenti tidak mampu menembus lebih jauh garis pertahanan tentara kita yang
bersenjata serba sederhana.
Menghadapi
kenyataan pahit itu, terpaksa Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan
dan mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian
diadakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Perundingan menghasilkan
persetujuan yang mengikat kedua belah pihak untuk menghormati dan melaksanakan
keputusan bersama. Dalam persetujuan tersebut ditetapkan garis kedudukan
pasukan masing-masing yang dikenal dengan garis demarkasi, sehingga terjadilah
status quo. Walaupun persetujuan telah ditandatangani oleh kedua belah pihak,
pelanggaran tetap saja terjadi.
Dalam keadaan yang terancam itu, Pemerintah Republik Indonesia masih harus
mampu mengatasi gejolak golongan masyarakat tertentu yang tidak dapat
mengendalikan diri, memperjuangkan dan memaksakan aspirasi golongannya kepada
Pemerintah. Bentrokan-bentrokan tidak dapat dihindari lagi dan berakibat
melemahkan kedudukan Pemerintah kita. Meskipun demikian, instansi pemerintah
dengan sekolah-sekolah, toko, pasar, dan lembaga masyarakat tetap terus
berjalan. Kegiatan instansi dan lembaga tersebut memang sangat terbatas karena
sumber daya dan dana yang minim. Demikian pula keadaan pendidikan dan
sekolah-sekolah.
Sementara itu, sisa-sisa sikap mental zaman penjajahan Pemerintah Hindia
Belanda dan Pemerintah Militer Jepang memberi bekas yang dalam di lingkungan
pendidikan yang memerlukan waktu lama untuk menghapusnya. Pada jaman
penjajahan, pemerintah Belanda menerapkan politik devide et impera, yang secara
umum mennjadikan kita terpecah-pecah kemudian dikuasi. Cara tersebut dilakukan
di segala bidang. Hal-hal yang berbeda walaupun kecil mengenai sifat, tabiat,
bahasa, agama, dan adat istiadat masyarakat Indonesia selalu dibesar-besarkan
kemudian dihasut, diadu domba antara golongan satu dengan yang lain. Dengan
demikian di antara bangsa Indonesia tidak ada rasa kesatuan, persatuan, dan
kesamaan nasib, justru tertanam rasa benci, curiga, dan permusuhan satu dengan
yang lain.
Dalam kondisi dan situasi yang demikian itu, di Kota Solo, di aula Sekolah Guru
Putri (SGP) yang terletak di Jalan kartini (sekarang SMP 3 dan 10) berlangsung
Kongres Guru Pertama yang melahirkan organisasi profesi, organisasi perjuangan
dan serikat pekerja yang bernama “Persatuan Guru Republik Indonesia” (PGRI)
yang nasionalis dan unitaristik. Dengan lahirnya PGRI di awal kemerdekaan yang
diwarnai dengan ledakan bom dan mesiu perang kemerdekaan, maka hapus sudah
organisasi kelompok-kelompok guru yang berlainan aspirasi perjuangannya. Semua
guru bersatu, berjuang di bawah panji PGRI. Sampai sekarang, sampai
diresmikannya Monumen PGRI di kota kelahirannya ini, PGRI menjadi organisasi
yang besar, kuat, dan berwibawa.
Persiapan Kongres Pertama
Pada majalah Suara Guru edisi Khusus peringatan Hari Ulang Tahun ke-40 PGRI
yang terbit 31 Oktober 1985, Bapak Moch. Hoesodo, salah seorang guru SGP,
menulis sebagai berikut:
“Pada permulaan bulan Oktober 1945, saya menerima undangan dari Bapak
Kusnan-Kepala Sekolah Guru Puteri- untuk menghadiri suatu pertemuan di
rumahnya, di rumah dinasnya di Jalan Kartini no. 22 (dalam kampus SGP). Waktu
itu saya mengira pertemuan tersebut akan membicarakan soal-soal kedinasan.
Hadir dalam pertemuan itu kira-kira sepuluh orang. Beberapa orang di antaranya
masih saya ingat namanya yaitu Bapak Siswowardojo, Bapak Siswowidijom dan Bapak
Baroya. Semuanya guru, mulai dari Sekolah Rakyat (kini bernama SD), SMP, SMY
(kini SMA), Sekolah Guru sampai Sekolah Teknik. Latar belakang pendidikannya
saya ketahui: ada yang HKS, dari HIK, dari KS, NS, dan lain-lain. Agamanya pun
berbeda-beda: Islam, Kristen, Katholik”
Bapak Kusnan mengutarakan apa maksud diadakan pertemuan itu. Beliau mengajak
para hadirin untuk membentuk suatu persatuan guru, yang akan mempersatukan
semua guru, dengan tidak memandang latar belakang pendidikan atau agama,
sehingga tidak akan terulang lagi keadaan seperti pada zaman kolonial: ada HKS
Bond, ada OVO, ada PGRI, ada NSB, dsb.
Segenap hadirin menyambut baik ide pak Kusnan itu. Tidak ada yang tidak setuju.
Rapat akhirnya memutuskan untuk menyebut persatuan itu sebagai PGSI (Persatuan
Guru Seluruh Indonesia). Pak Kusnan terpilih sebagai ketuanya yang pertama.
Atas inisiatif pak Kusnan, PGSI mengajak semua guru di wilayah Republik
Indonesia untuk berkongres di Solo. Untuk memberi kesempatan mengadakan
persiapan secukupnya, maka kongres itu direncanakan, diselenggarakan pada akhir
bulan November 1945, di gedung SGP, di Jalan Kartini, Solo.
Surat-surat ajakan untuk mengadakan Kongres Guru itu dijatuhkan di Kantor
Kabupaten yang kemudian diteruskan kepada Kantor Pengajaran dari daerah yang
bersangkutan. (Redaksi: agaknya Sdr. Moch. Hoesodo tidak mengetahui, bahwa RRI
telah memberi bantuan dengan menyiarkan ajakan PGSI tersebut beberapa kali).
Sambutan dari daerah-daerah lain luar biasa, semuanya antusias dengan ide dari
Solo itu. Pada saya tidak ada catatan berapa orang yang hadir dalam kongres
pertama itu, dan mewakili berapa kabupaten.
“Adapun SGP yang dijadikan medan kongres itu sudan semestinya. Bukankah ketua
PGSI juga menjabat Kepala SGP? Di SGP tersedia sebuah asrama. Murid-murid
diliburkan selama kongres agar asrama bisa digunakan sebagai tempat penginapan
para peserta kongres.”
Perlu dijelaskan bahwa selama kongres itu para siswa yang diliburkan hanya para
siswa yunior, sedang para senior dan guru-guru membantu panitia kongres sesuai
dengan bakatnya masing-masing. Ketua panitia Bapak B. Suparno dan Bapak Ali
Marsaban sebagai Wakil Ketua.
Saat-saat yang Menentukan
Bapak Ali Marsaban sebagai Wakil Ketua Panitia kongres menulis kesan mendalam
sebagai berikut:
“waktu kongres akan dimulai, Bapak Suparno jatuh sakit, sehingga tugas membuka
kongres diberikan kepada saya. Sayalah yang mendapat kehormatan untuk
mengetokkan palu yang pertama kalinya sebagai tanda akan lahirnya suatu
organisasi guru satu-satunya di Republik Indonesia. Pengalaman ini akan saya
bawa ke liang kubur, sebagai kenangan manis di dunia-akhirat.”
Pada majalah Suara Guru No. 50 bulan November 1974 mengenai jalannya Kongres
Pertama, Bapak Kusnan dalam suatu wawancara mengatakan: “Kongres pertama PGRI
berlangsung dari awal sampai akhir di gedung SGP Solo, pembukaannya,
perdebatannya, penetapan AD/ART, program perjuangan dan penetapan namanya. Hal
ini diketahui benar oleh bekas-bekas guru dan bekas-bekas murid SGP dalam tahun
1945 dan 1946.” Sedang resepsi dan pengumuman keputusan-keputusan kongres
diselenggarakan di gedung Sana Harsana dan berlangsung pada esok harinya
sesudah kongres berakhir.
Tentang resepsi itu sendiri Bapak Kusnan menyatakan: “Masih ingat benar bahwa
rapat terbuka tersebut tidak dihadiri oleh banyak pengunjung/tamu. Sebagian
peserta kongres telah meninggalkan kota Solo, pulang kembali ke daerahnya
masing-masing. Tidak karena takut atas serangan sebuah kapal terbang Inggris
pada gedung RRI pada hari terkahir kongres di SGP, tetapi karena kehadiran
mereka sangat diperlukan untuk memperhebat semangat mengusir Belanda dengan
NICA-nya dari daerahnya masing-masing. Banyak pembesar pun tidak hadir, karena
Bapak-bapak itu harus tetap di posnya masing-masing untuk menghadapi segala
kemungkinan. Namun pertemuan di gedung Sana Harsana mempunyai arti yang
penting. Dari tempat itu disiarkan telah berdirinya PGRI yang unitaristis,
independen, dan non partai politik dengan tujuan pokok: mempertahankan dan
menyempurnakan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang telah merdeka
dan tidak terpecah-pecah.”
Pada edisi Suara Guru tersebut Bapak Kusnan menceritakan:”…..Pada waktu
membahasa AD/ART PGRI, jam 08.30 pagi (oleh Bapak Kusnan dikoreksi menjadi
siang hari) stasiun radio Surakarta yang jaraknya hanya beberapa ratus meter
dari gedung SGP, tempat utusan PGRI bersidang dibom oleh Inggris. Para peserta
mencari perlindungan di bawah meja dan di luar gedung SGP, namun setelah kapal
terbang pergi, dengan tabah hati para peserta/utusan melanjutkan sidang dan
hari itu juga sidang berhasil menetapkan AD/ART PGRI dan memilih Pengurus Besar
yang pertama. Hal itu membuktikan bahwa PGRI sejak lahirnya adalah organisasi
perjuangan, tidak hanya menuntu perbaikan nasib saja, akan tetapi lebih dari
jauh dari itu: bahwa PGRI tetap konsisten terhadap perjuangan dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945.”
Dalam kongres itu utusan dari Solo mengusulkan nama PGSI untuk persatuan guru
yang baru itu, tetapi kongres memilih nama lain yang lebih tepat, yaitu PGRI,
singkatan dari Persatuan Guru Republik Indonesia. Nama PGRI merupakan usulan
kawan-kawan guru Jawa Barat yang berjiwa unitaristis.
Kongres memilih Bapak Amin Singgih sebagai Ketua I PGRI dan Bapak Rh. Kusnan
sebagai ketua II.
Modal PGRI: Tekad dan Semangat Perjuangan
PGRI berdiri bermodal tekad semangat perjuangan. Bapak Amin Singgih, Ketua
PGRI, segera melengkapi susunan Pengurus Besar yang ditetapkan pada rapat
pertama yang diselenggarakan di salah satu ruangan kantor Mangkunegaran. Bapak
Amin Singgih menjabat Kepala Pendidikan Mangunegaran atau disebut Pembesasr
Baroyowiyoto. Maka susunan Pengurus Besar PGRI adalah sebagai berikut:
a. Ketua I: Amin Singgih
b. Ketua II: Rh. Kusnan
c. Ketua III: Soemitro
d. Penulis I: Djajeng Sugianto
e. Penulis II: Ali Marsaban
f. Bendahara I: Sumadi Adisasmito
g. Bendahara II: Martosudigdo
h. Anggota: Siti Wahyunah
i. Anggota: Siswowidjojo
j. Anggota: Siswowardojo
k. Anggota: Parmodjo
Dua bulan kemudian Bapak Amin Singgih diangkat menjadi Bupati Mangkunegaran,
sehingga karena kesibukannya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua PGRI.
Pimpinan PGRI diserahkan kepada Bapak Rh Kusnan yang menjabat Ketua II. Kembali
SGP memegang peranan dalam keberadaan PGRI, karena sejak Bapak Rh Kusnan menjadi
Ketua PGRI maka Kantor Pengurus Besar PGRI berada di kampus SGP yang sementara
itu sudah pindah di Jalan Monginsidi, Margoyudan.
Susunan Pengurus Besar berubah menjadi sebagai berikut:
a. Ketua I: Rh. Kusnan
b. Penulis I: Sastrosumarto
c. Penulis II: Kadjat Martosubroto
d. Bendahara I: Sumidi Adisasmito
e. Bendahara II: Martosudigdo
f. Anggauta: Djajengsugianto
g. Anggauta: Siswowardojo
h. Anggauta: Ny. Nurhalmi
i. Anggauta: Suspanji Atmowirogo
j. Anggauta: Baroja
Di tengah kancah perang kemerdekaan yang makin hebat, PGRI di bawah pimpinan
Rh. Kusnan yang penuh kreativitas menunjukkan kehadirannya dalam perjuangan
besar bangsa dan negaranya.
- PGRI mengutamakan bergerak sebagai organisasi perjuangan
yang membina persatuan dan kesatuan dalam menentang Belanda yang hendak
menjajah Indonesia kembali. PGRI belum merupakan serikat sekerja yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri melalui segala bentuk tuntutan.
- Dalam keadaan serba kekurangan sumber daya, Pengurus Besar
PGRI berhasil mengusahakan penerbitan majalah “Soeara Goeroe” dengan kertas
merang yang warnanya kekuning-kuningan. Sesudah dibaca oleh 10 orang
huruf-hurufnya tidak terbaca lagi (baik kualitas kertas maupun sistem
pengecapannya sangat sederhana).
- Pengurus Besar tidak mudah berkunjung ke daerah-daerah
karena kesulitan komunikasi dan gangguan keamanan. Perjalanan kereta api
seringkali terhenti karena kekurangan atau kehabisan bahan bakar. Dalam
perjalanan seringkali harus menghadapi pos-pos penjagaan yang mengadakan
pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai.
- PGRI mula-mula memperkuat Barisan Buruh Indonesia (BBI)
sebagai gerakan buruh nasional yang menentang penjajah Belanda. Tetapi ketika
BBI sebagai gerakan buruh nasional pada tahun 1946 diubah menjadi Partai Buruh
Indonesia maka PGRI keluar dari BBI. Demikian pula halnya dengan Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika SOBSI masih nonpartai, semua
serikat sekerja menjadi anggota. Tetapi setelah SOBSI berganti corak, menginduk
Partai Komunis Indonesia (PKI) maka banyak serikat sekerja termasuk PGRI yang
meninggalkan SOBSI dan membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
- PGRI tidak mempunyai uang karena kontribusi atau iuran
tidak masuk dan tidak ada donatur.
Pada tanggal 22-23 Desember 1946 PGRI menyelenggarakan kongres kedua dengan
mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kongres Kedua PGRI diselenggarakan di
Pendhopo Kepatihan Surakarta dan dihadiri oleh Bapak Presiden Sukarno. Dalam
penyelenggaraan kongres tersebut, para siswa dan guru-guru SGP juga ikut
membantu, sampai ikut mencari dana dengan menyelenggarakan pertunjukan di
Sriwedari.
Pada kongres PGRI Bapak Rh. Kusnan sebagai ketua PGRI menyampaikan pidato yang
isi ringkasnya seperti berikut:
- Dalam alam Indonesia Merdeka hendaknya dunia pendidikan
juga diadakan perubahan sehingga tidak sama sistem dan pelaksanaannya dengan
zaman pemerintahan Hindia Belanda dan penjajahan pemerintah militer Jepang,
supaya selekasnya didasarkan kepada kepentingan nasional.
- Hendaknya bagi lulusan sekolah kejuruan juga mendapat
kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum dapat melanjutkan ke
universitas atau perguruan tinggi. Dengan demikian, jumlah sarjana akan lebih
cepat bertambah.
- Diusulkan agar kedudukan guru diperbaiki tanpa
menyinggung-nyinggung kenaikan gaji. Maksudnya ialah agar bagi para guru diberi
kesempatan untuk meningkatkan jenjang jabatannya melalui pendidikan yang
sesuai, misalnya guru SD dapat meningkat menjadi guru SMP, kemudian SMA dan
Universitas melalui pendidikan yang ditentukan. Pendidikan tersebut dapat
berupa kursus baik lisan maupun tertulis. Dengan demikian guru menjadi tertarik
untuk terus belajar meningkatkan ilmu dan kemahirannya sampai jenjang yang
tertinggi.
- Supaya gaji guru tidak terhenti dalam satu kolom.
- Hendaknya diadakan Undang-Undang Pokok Pendidik dan
Undang-Undang Pokok Perburuhan.
Pidato tersebut ditutup dengan semboyan:
“Guru bukan penghias alam yang tidak dapat dipakai kalau perlu dan dibuang
kalau sudah layu dan tidak berguna lagi. Guru ialah pembentuk jiwa, pembangun
masyarakat.” (admin)
sumber : www.pgrijateng.org